Senin, 09 November 2009

PUISI-PUISI DARI ANTOLOGI 'TEMBANG TANAH MERDEKA'


Puisi-puisi postingan kali ini terhimpun dalam antologi TEMBANG TANAH MERDEKA.

DARI DEBU-DEBU REVOLUSI

Kendati kami telah jadi debu dan tanah
terdapat sepanjang pantai dan lembah
belum hirup hangat mentari kemerdekaan
belum reguk segar nikmat kebebasan
namun bukan berarti
segala yang pernah kami korbankan
buat perabuk ladang tempat kau bertanam
dan kukatakan sekarang
segala kami yang nyawanya masih gentayangan
sampai yang damai di sisi Tuhan
kami tak pernah relakan
bumi hangat
yang kami basuh dengan darah
rimba padat
yang kami dekap dengan cinta pasrah
kau buat padang penggembalaan
bagi domba-domba kelaparan
percuma kami jadi debu beterbangan
bila megahnya bangsa sekadar lagu pujaan
galaknya tekad sekadar kata pajangan
bukan untuk itu kami telah sedia mati
namun buat maniskan madu laut katulistiwa
tempat anak-anak masa depan
bebas berkubang sambil minum dan tertawa
tanpa cemas pada neraka dunia

Yogya, 1974





BALADA PATRIOT MUDA

Matahari katulistiwa
masih semayam di jantungnya
masih bakar pembuluh darah dan sendi
karena
masa muda gelanggang pacuan cita
bukan sebuah kolam di taman kota
ketika pagi di tanah ini tenggelam
dalam cerita-cerita hitam
atau tertimbun bukit merjan
pijar api masih nyala di mata
tegar hati masih tugu di jiwa
matahari masih nyala di dada
cita-cita masih utuh dalam sukma

masa muda hakekatnya
pertempuran lawan segala kenistaan
bukan sebuah meja perjamuan
masa muda hakekatnya
pintalan nyali bentuk cemeti
ketika angkara di tanah Ibu meraja
disaksikan bumi dan langit
inilah hakekat pertempuran itu

Yogya, 1975






DRAMA TANAH TERCINTA

Seribu matahari membakar tanah ini
duka-duka menguap jadi pelangi
nyawa-nyawa tersisa jadi arang dupa
asap nembus langit cari Tuhan-nya
suara-suara genta lagu merdeka
sentuhi derita-derita
lama terkandung dalam rahim bumi tua
adakah wangi masih di dalamnya
tuk memanggil-Mu Tuhan hapus ini durhaka
lama meraja di tanah tercinta

Biarlah guruh dan petir jadi musik di hati
hantar rinduku yang sangat
hancurnya duraka di rumah sendiri
lama cemari bumi Ibuku
kidung dan doa tuntas malam ini, Tuhanku
pijarkan dendamku pada sang duraka
yang membuat Ibu terbelenggu kebebasannya
yang membuat Ibu sandang mala saat merdeka
pacukan kekuatan di tangan ini, Tuhanku
kukuhkan cinta dan harapan
karena dengan tangan ini jua
ingin kuangkat sendiri
Ibuku nerobos pintu duraka

Yogya, 1976






NYANYIAN PUTIH

Sesosok bayang bicara dari dunia jauh:
ini hari yang wangi, saudaraku
jangan hentikan nyanyianmu
selagi merah putih masih berkibar tinggi
bersaksilah bagi kami, saudaraku
peluru telah menyunting janji maut
jadi manik dan bintang di dada
mati bukanlah sakit untuk diobati
melainkan nyanyian putih di hati
tentang cinta pada setiap tapak bumi

Terus nyanyikan hari ini, saudaraku
seperti kami nyanyikan dari bayangmu
kenapa lari sembunyi?
pandangi camar terbang sepanjang pantai
bincang cinta egoisme dan hal tak menentu
inikah ujud lain dari pekik merdeka atau mati-ku dulu?
di ujung kakimu itu
dulu darahku tumpah dan beku
tanpa doa tanpa apa-apa
aku tanya dalam kebodohan primitif
tapi kau hanya bernyanyi syairnya lain
sekali, tentang disco dan gensi
aku makin bising tak lelap berbaring
akankah kau henti dan mulai benah diri?
dan mengirim diriku kembang melati...

Jakarta, 1978




BALADA ANAK ZAMAN MERDEKA

Anak zaman merdeka adalah kami
yang merdeka hasrat jiwa
yang pacu langkah sepanjang sejarah
yang berjuang sepanjang hayat
di tanah kering di tanah basah
menanam pohon pengharapan

anak zaman merdeka adalah kami
yang memasang pilar-pilar negeri
yang memukul tifa deramkan genderang
yang pancang tali baja di pantai dan rawa
di tanah bunda tanah perdikan
mencatat peta sejarah

gemuruh perang itu bagian masa silam
gemuruh langkah sekarang
adalah catatan perjalanan
anak laut anak angin anak musim
sungai-sungai masa datang
tempat harmoni kehidupan berlayar

Jakarta, 1990










KETIKA BUNGA DITABUR
ATAS PUSARA TAK BERNAMA

Hari ini kita melangkah satu arah
gagah bagai tembok-tembok makam
wajah sekeliling serius penuh janji
menatap nisan-nisan putih
perekam berita ziarah
resapkan cinta tumpah darah
ketika bunga ditabur
atas pusara tak bernama

“Ibuku lahirkan manusia utama
batu dasar dan pilar penyangga
kokoh nusa kokoh bangsa
tiupkan nafas putih padat kasih
lewat pori tanah di tapak kakimu
antara doa-doa terucap
pada hari-hari begini
rindu kesejatian”

seorang prajurit muda tak bernama
menatap antara kerjap
lewat bayang pohonan rindang
kesiurkan angin makam hari ini
ketika bunga ditabur
atas pusara tak bernama
dan kita selesai diam-diam
melangkah pulang berpencar arah

Jakarta, 1990



NYANYIAN HIDUP

Anak-anak Indonesia tak pernah lalai
akan tugas hari yang hampir lusa
tahu setiap langkah dimulai
tersaji angka-angka dan realita
siap menghadang tak hendak bincang

Anak-anak Indonesia tak pernah sangsi
hidup bukan nyanyian siap tembang
tapi kata yang harus diberi makna
lontar hasrat yang harus diberi nada
apa yang didapat dari buku
tak lebih awal ajaran
apa yang disimak dari layar kaca
tak lebih mosaik dan retorika
apa yang didapat dari kehidupan
kearifan dan kebijakan

anak-anak Indonesia tak pernah alpa
pengalaman bukan kamar yang dikunci
melainkan hati yang terbuka
pahami kehidupan seutuhnya selalu di sanalah ia

Jakarta, 1991









CATATAN ANAK PERANG

Di antara serpih tulang
ada kenangan panjang
di antara kerak darah
ada keangkuhan menjarah
di antara bau mesiu
ada cinta Ibuku
terkubur jadi satu

Barangkali akan jadi penyubur
tanah negeriku yang kini hancur
barangkali di sini sesudah ini
tumbuh pohon paling tinggi
tumbuh bunga paling wangi
lambang kehidupan masa depan
penuh hawa perdamaian

Tapi aku lebih ingin
Ibu dan kakak lelakiku ada di sini
lewati hari-hari sederhana
nyusuri lorong kota raya tanpa bara

Jakarta, 1991










CATATAN TANAH MERDEKA

Gelisah acara di layar kaca
gelisah jiwa di tanah merdeka
gelisah langkah pencari makna
baur dalam kota terbakar
ini catatan sejarah
mestikah ditulis dengan darah?
inikah tanyamu
sambil menyepaki angan-angan
anak-anak yang tertawa pada plaza
anak-anak yang marah pada rumahnya
anak-anak yang memanjati menara mimpi
baur dalam kota nanar
inikah tanyamu
sambil nelan darah di lidah
sementara sejarah diselewengkan
sementara jiwamu terus meradang
mata merah senyum hilang
o, anak lanang cobalah nembang
ingat pesan bapakmu di awal perang
pahit getir kemerdekaan
setia dikumandangkan

Jakarta, 1991









PESAN LELAKI VETERAN
KETIKA MENJELANG AJAL
KEPADA ANAK LELAKINYA

Senapan senapan lama sudah disandarkan
pinggir hutan dan ceruk lembah
telah jadi sejarah
sahabat-sahabat mati muda
dengan nyanyian belati di hati
semua tak sempat kucatat
aku tak pernah berhenti perang
melawan dendam berkarat

Berdoalah untukku sewajarnya
manakala ruhku yang lelah
telah melintasi pohon trembesi
tak perlu menyesali
kepapaan hanya sempat kuberi
tak perlu mencoba nanti
mengurus belas kasihan
jalannya terlalu panjang
lebih panjang dari sejarah perjuangan
kau tak bisa bicara dengan aparat
karena jiwamu burung yang merat
lebih baik kau jadi lelaki sederhana
bersahabat dengan wong suci
rembulan dan matahari
tapi jika tak bisa
angkat pedang dan jadi ksatria

Jakarta, 1992
ANAK-ANAK TAMAN KOTA
MENGEJAR LAYANG-LAYANG BENDERA

Anak-anak tumbuh di taman kota
kau tak melihatnya
mereka berkerumun di embun-embun
berlompatan di ubun-ubun
mencabik-cabik matahari
melempari rembulan
mereka menyerang bagai kuman
menjerit bagai hewan
mencabik-cabik impian
melempari harapan
kau dan aku
tertegun kehilangan ubun-ubun
di langit mengejek layang-layang bendera
mengejarlah mereka sambil mengejek kita
Anak-anak tumbuh di taman kota
kau tak melihatnya?

Bogor, 1992











CATATAN PRAJURIT PERANG

Barangkali ini mimpi paling indah
bagi orang-orang negeri terjarah
manakala lilin-lilin menyala di lembah
cahaya, hati anak-anak njelma mekar bunga
prajurit perang lepas senjata
wajah luluh lengan terbuka
manakala bunga-bunga kecil
terulur dari tangan-tangan mungil
tangan anak-anak masa datang
kalau saja prajurit perang
lupakan senjata tak hari ini
lupakan ajaran di medan-medan
manakala di depannya
tapak-tapak kecil bertebaran
nada-nada harap berloncatan
kami mau perdamaian
kami mau main dan makan
kami mau lilin dan kembang

Mulut-mulut kecil terus bernyanyi
di lembah penuh cahaya
prajurit perang berkata riang:
lihat sudah kulepas senjata
lengan siap dekap cinta
lihat ada air mata dan tawa
derai beriringan

Bogor, 1993



CATATAN PARIT

Panglima melepas aba
tak di balik parit
prajurit siap siaga
di dalam parit
anak kota perang tersungkur
mendekap parit
sementara berhamburan peluru
bagai turun dari langit
mengkoyak udara kota
mengkoyak punggung anak pejuang
yang lari bertemperasan
menuju parit perlindungan

parit
terus digali tangan-tangan sunyi
parit
terus untuk sembunyi hati-hati sunyi
parit
terus menyimpan doa-doa sunyi
samar-samar ada pencarian KASIH sunyi
parit
terus kirimkan ruh-ruh sunyi
parit
terus sebarkan bau dosa-dosa sunyi
parit

Bogor, 1993





CATATAN KAWAT BERDURI

Kawat berduri mencabik mata
tak leluasa menatap langit
barikade menahan dlengan
ingin meraih pejuang muda
luka terperangkap pongah dunia
kawat berduri mencabik hati
tak leluasa menjabat sesama hati
di antara gelegar artileri
siapa lagi kita tangisi hari ini
kawat berduri mencabik rahim
lahir anak zaman sebelum waktu
di antara dendam membara desing peluru

kawat berduri mencabik segala
kepala – rahim – dada perempuan
darah mengalir dari pusar dan bibir
merahkan kawat-kawat berduri
merahkan tanah limbah dosa penguasa
merahkan jarak yang terus nganga
perbedaan
kepentingan
tahta dunia

Bogor, 1993








MONOLOG NELAYAN TUA
TENTANG KEMERDEKAAN

Perjalanan menghela mimpi besar
buah kemerdekaan itu
orang-orang saling menafsirkan
ada tak ada pertanda zaman
hari ini sebuah kenyataan
mosaik peradaban kilas berita rekaman
orang-orang saling bicara
dari mimbar ke mimbar
sesekali menerawang langit lepas
sesekali tenggelam dalam doa-doa
banyak sudah yang berubah
buah kemerdekaan itu
ada dalam saling rampas tata kota
ada dalam angkuh di jalan raya
ada pada orang-orang kehilangan rumah
yang berumah kehilangan makna

hari ini sebuah elegi, isteriku
kata seorang nelayan tua kehilangan laut
ingatannya melayang mengapung
di atas ombak-ombak laut suwung
kapalnya dulu ikut bebaskan tanah Irian
darah di nadi dulu jadi ikatan
lusa sebuah mimpi besar, isteriku

Bogor, 1994





USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN I

Senja bendera diturunkan dengan upacara
langit temaram lelampu berpendaran
Jakarta terus berderam
lalu lalang tanpa henti
sementara mulut-mulut terkatup
wajah-wajah tak mudah diterjemahkan
barangkali luput dari tatapan
sesosok jiwa kembara menatap di kejauhan
dia bukan siapa-siapa
yang menghadiri apa-apa
hilang bersama raungan kota-kota peradaban
yang mabok kemerdekaan

Dia hadir dalam warna hitam saudaranya
tandanya dia dalam cemas dan duka
sementara mulut serukan kata merdeka
dia usung derita peradabannya
namun semua harus terus melangkah
di antara pengkhianat

Senja bendera diturunkan dengan upacara
matanya buram jiwanya lebam
Jakarta kian berderam

Bogor, 1994






USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN II

Orang-orang bertemperasan di mana-mana
langkah tersangkut di umbul-umbul
pikiran lepas dari buhul-buhul
orang-orang mabok kemerdekaan
lupa ajaran hidup benar
jadi rakus dan temaha
memangsa segala
orang-orang makin mabok, berkeliaran
dalam rimba tercipta di angan sendiri
mereka bicara lupa gramatika
merdeka permainkan norma
mereka buat penafsiran baru
tentang makna kemerdekaan

Merdeka merebut yang bisa direbut!
(Tuhan, termasukkah air mata kami?)

Merdeka bikin yang baru buang yang lama!
(Tuhan, termasukkah warisan leluhur kami?)

Merdeka sulap huta beton di kota-kota!
(Tuhan, termasukkah tebang pohonan kami?)

Orang-orang bertemperasan di mana-mana
bendera-bendera di trotoar
belum semuanya habis terjual
cinta negeri ada yang ada yang kental

Bogor, 1994


USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN III

Antara mimpi tragedi kujejer parodi
sambil menatap langit
menyimpan kibas bendera
nyanyian sukma bangkit
bangun harapan jadi bukit-bukit
kemerdekaan ini, saudaraku
jelma panorama lain sepanjang windu
sepotong ambivalensi
digapit-gapit kontradiksi

Antara mimpi tragedi kujejer ilusik
kutembangkan dan kutangisi
sementara orang-orang sederhana
sesaat lupa hujan air mata
manakala pasang gapura
menulisi: Negeriku Jaya
kemerdekaan ini, saudaraku
selembar mosaik raksasa
orang-orang riuh percikkan warna

Bogor, 1994






USAI PERINGATI
PROKLAMASI KEMERDEKAAN IV

Menikmati kemerdekaan
seperti melangkah tak berkesudahan
di antara manusia penuh temperamen
sesekali diri tertawa sendiri
sambil menatap arah Timur
puncak Rahtawu lembah Muria
mulai kuratapi diam-diam
saat teknologi lapar gelar cakar
kotaku daerah bahaya tiga

Menikmati kemerdekaan
seperti menarik langit ke dalam hati
diam-diam kusyairkan
diam-diam kupertanyakan
gunung-gunungku
lembah-lembahku
hutan-hutanku
sungai-sungaiku
bahkan kesetiaan petinggiku

Bogor, 1994









BUNGA SEJARAH
(bagi sang proklamator)

Di laut dialah badai
di langit dialah matahari
di tanah merdeka ini
dialah pohon yang akarnya
tak pernah tercabut
dari buminya
kita selalu memilikinya
sejarah telah memberi bunga

segala epos, ode, balada sampai elegi
tak sempurna merangkum perjalanan paling indah
karisma, cinta dan cita-cita

Suaranya masih di udara
menyulut bara di dalam dada
di laut di langit di tanah merdeka ini
dialah segala warna menyatu di bianglala

Bogor, 1994












KETIKA ANGIN BERHEMBUS
BENDERA BERKIBAR SEMANGAT MEKAR

Ketika angin berhembus bendera berkibar
terdengar pesan itu:
‘jangan henti wangikan negeri
Sudah melangkah pantang kembali
Sang ratu ada dalam jantungmu
Pawang bumi mengasuhmu’

Ketika angin berhembus bendera berkibar
seorang anak berjanji
pada bapaknya almarhum
sambil menatap tiang bendera
di halaman depan istana
semangatnya mekar:
‘bapa janjiku ada
dalam kelopak umur
dalam lubuk kehidupan
dalam Berkah-Nya jua’

Bogor, 1995












DALAM ABSTRAKSI HIJAU
INDONESIA MERDEKA

Seorang anak Indonesia
berdiri menyimpan ombak samodra
ada pesan di antara gemulungnya
‘lupakan segala kutukan
jika hati putih engkau Kekasih Tuhan
urat nadimu arus bengawan
apungkan harapan-harapan
simak langit simpan janji wingit
lingkar hijau abstraksi cinta
tanah merdeka
menghidupkan gunung suwung
menghidupkan harapan mendung
menghidupkan semangat terkurung
hitung upacara-upacara telah digelar
jadi merjan-merjan kehidupan
tapi jangan hitung nisan-nisan di makam
karena ia ujud kesetiaan
kau diberkahi untuk moyang
jantungmu penuh kidung kaya irama
hutanmu kan semi di mana-mana
mesin gergaji henti bekerja
sungaimu bening di mana-mana
limbah hitam kugulung sirna
dalam abstraksi hijau Indonesia merdeka’

Bogor, 1995





MONOLOG SEORANG ANAK INDONESIA

Bendera masih berkibar di udara
peluru di dadamu ikut menebusnya
kuzikirkan doa-doa sederhana
mendesirkan Karisma-Nya
kemerdekaan bagai pohon tumbuh
kemerdekaan bagai plaza bermozaik
ada gerak, ada keindahan
meski musim jadi dataran berkabut
aku terus bersaksi tanpa ratap
akarku tak tercerabut
sesekali jika aku tak mengerti
pada kenanganmu jawab kucari
lalu menyusuri jalan setapak
hijaukan lahan-lahan dalam ingatan
birukan langit pada mata menyipit
utihkan kembang randu tanda kemarau
sambil mengeja makna kemerdekaan
sambil tengarai tahun-tahun perjuangan

Dan aku terus bersaksi
dan aku terus berdoa
kurasakan angin berhembus
bendera melambai menyapa
orang-orang selesaikan upacara

Bogor, 1995






NYANYIAN ZAITUN
ROMANZA PERDAMAIAN

Saat kau tembangkan syair zaitun
tumbuhan benih rembulan
ditaburkan kepak merpati
dihijaukan cahya matahari
tumbuh daun di rantingya
di tanahmu terbentang lembah merdeka

Orang-orang lembut perangai
ada bunga di depan pintu pagi hari
menyapamu seiring harum kopi
perempuan di seberang jalan lambai tangan
adakah kau sahabat masa sekolah, sapanya
anak-anak berlarian di rerumputan
matahari masih di balik pohon Yangliu
o, busur panah tlah menyatu di lengkung langit

Mereka terus melambaimu
o, gamang tlah lama dikubur di bukit-bukit
seru seorang bocah matanya bening bintang
lalu panggil angin bersarang di pohon rindang
indahnya hari tanpa dendam sejarah
di jalanan orang lewat dan berbincang

Bogor, 1995






MENYUSURI LORONG KOTA
MENDENGAR BOCAH MENEMBANG RESAH

Suaranya tak jelas di antara
lengking nyaring penjaja minyak
kaukah itu anak kecil dalam anganku
suaramu mewakili resah zaman
perjalanan masih panjang
mengantar abad dan musim
kubiarkan kaki melepuh
bunga rumput di baju lusuh
barangkali cinta sesiapa akan hadir
di antara bercak merah mentari petang

Suaranya kian mengambang
kulihat hutan terbakar kembali semi
kulihat sungai berlimbah bening lagi
setiap kupuja engkau Ibu Kemerdekaan
dalam niatan kuciptakan lahan-lahan
agar lembah penuh satwa
agar jiwa penuh taqwa
tapi aku hanya sendiri
di sekelilingku raung gergaji
Ibu kembalikan aku dalam rahimmu

Aku terpana di lorong kota raya
suara anginkah telah menerpa dinding tua
memantul lindap ke lubuk jiwa

Bogor, 1995




KESAKSIAN SEORANG ISTRI VETERAN

Sepanjang musim tak pernah berubah
suaranya itu matanya itu
pekik rajawali
kilau matahari
keduanya kekayaan langit

dia lelaki hati mimis
dari bui ke bui tak habis-habis
jenawi dan senapan sahabatnya
pernah musuh jadi ilalang olehnya
jangan ubah dia punya hati
cintanya satu hanya
tanah raya yang merdeka
dia lelaki kuda sembrani
jiwanya angin sabana dari tenggara

Mastodon-mastodon jadi fosil di nafasnya
pengkhianat jadi reptil di suaranya
pendosa jadi berhala di sentuhnya
dia ada di mana-mana dalam sosok lelaki
tabah, tak pernah sangsi kebenaran sejarah

Bogor, 1995









BERLAYAR SEPANJANG PANTAI
BERPIKIR TENTANG KEMERDEKAAN

Sebuah tumbal paling mahal
bagi bendera di angkasa hari ini
adalah air mata tak pernah sudah
iringi kepergian tanpa kembali
saat mimis iris dada tipis s’orang lelaki
sementara orang-orang tak beriman
diam-diam lakukan transaksi pengkhianatan
kini kueja kembali makna kemerdekaan
di antara ladang bunga
dan kampung-kampung gusuran
anak siapa menangisi air matanya
tlah jadi genangan bekas galian
:Mari berlayar spanjang pantai tanah air
akan kau mengerti kemerdekaan yang lain
angin berhembus di sauh kepucatan
ombak sentuh kakimu yang berjuntaian
lalu kau berseru ke arah matahari
seleret burung melintas tinggi
kebebasan yang hakiki milikmu
sementara perahu kita terus melaju

:Jangan kembali ke daratan, pintamu
aku akan terperangkap dan menangis lagi
aku mengerti, ibumu laut bapamu langit
dan kita kuik elang sisa peradaban

Bogor, 1995




PESAN BAPA SEBELUM PERGI BERJUANG

Jangan sampai engkau henti
menabur benih di tanah perdikan
jika melangkah pantang kembali
jangan sampai engkau terlena
hari tinggi masih berdawai
jaga jiwa jangan lunglai

Bapa, bapa, aku berjanji
kata-katamu bunga melati

Jangan sampai engkau resah
jadi saksi kebenaran sejarah
tatap langit penuh gairah
jangan sampai engkau mundur
nanti bisa jadi jamur
aku ingin engkau jadi anggur

Bogor, 1995














ABSTRAKSI BARU ANAK INDONESIA I

Ditatapnya lama-lama
genangan panjang membelah kota
mengalir lamban warna tak tereja
gelap kecoklatan
kelabu kehitaman
namanya entah sungai entah bengawan

Sementara angin menyapa permukaan
apungkan plastik, dahan dan
mimpi masa depan
terus menuju muara
sebentuk perahu daun
ada di tangan
membawa mimpi Indonesia

Bogor, 1995












ABSTRAKSI BARU ANAK INDONESIA II

Anak kecil pinggir hutan sunyi
menatap langit Indonesia
ingin tembangkan hutan hijau kemilau
ingin renangi kaki bening berkeliling

o, hari merdeka
tanah merdeka
jiwa merdeka
semua luar biasa

Cuaca berubah redup temaram
burung kecil yang tertinggal
dalam sarang tersisa kaku
burung besar terbang nanar cari habitat baru

o, hutan merdeka
kini diburu
anak kecil menatap langit
mata basah senyum raib

Bogor, 1995











PRASASTI CINTA NEGERI
PEREMPUAN SEDERHANA

Angin pagi agustus ringan berhembus
kabarkan cerita lama tentang bapa
hilang bersama badai perang kemerdekaan
bapaku lelaki bukit padas
dari timur, semangat ruh jagad
lelaki dari langit
mulut simpan kata-kata wingit
kurindukan kehadirannya
setiap pagi agustus tiba
tapi dia tak pernah kembali
hati berkata
bapa telah menyatu pada bumi

Pagi berangin mentari di pucuk randu
bapa bicara pada semesta:
anakku perempuan cilik
mata bening hati akik
kelak dia kuat bak Kalinyamat
kelak dia mengerti bak Kartini
kelak kutitipkan hari-hari
getar nafas perjuangan
sejak itu bapa hilang
kutanam prasasti di padang-padang
sambil menghitung-hitung bintang
kukirim tembang

Bogor, 1995




TANAH AIR YANG SIMPAN
MOSAIK PERADABAN

Dia tumbuh jadi perempuan matahari
selalu berlayar dengan dayung besar
dihantar angin kembara
hasratnya dekap dunia
sambil memanggul kampak berkarat

Pantai-pantai disalami
dermaga-dermaga dipacak penjor
janur kuning dan umbul-umbul
dikikis segala pedih
langit berkaca di laut jernih

Dia mengaku anak pawang
di dadanya angin bersarang
urat nadi jalan setapak hijau pematang
hutan tropis merimbun di rambutnya memutih
tanah air kinanti simpan mosaik peradaban

Bogor, 1995












PRASETIA CUCU KI SUTO LEGOWO

Dia mengaku cucu Ki Suto Legowo
lahir dari perempuan gapura bunda
namanya tersimpan sepanjang kurun
berada di antara ombak-ombak laut
berada di antara kampung tua merah hitam
cintanya tanah merdeka
meski kerap hadir bencana

Sampai denyut jagad menyatu pada hati
sampai cakrawala menyatu pada dahi
prasetia cucu Ki Suto Legowo

Bendera berkibar di mana-mana
dan berkibar di hatinya
janur kuning beruntaian di gapura
dan beruntai di lehernya
mega-mega berlintasan di langit
dan berlintasan di angannya
di depan istana usai upacara bendera
dia melihatmu dan beburung terbang ke matahari

Bogor, 1995










BALADA PUTRA SANG FAJAR I

Setiap pagi bangkit di ufuk timur
sentuhan alam murni
melubuk di kedalaman nurani
fajar mengantar matahari merah
puja-puji kemuliaan Ilahi
alam, satwa dan imaji
menyatu pada bayangmu, bapa
abadi dalam ingatan masa bocahku
lima windu silam di kota kecil pantai utara
jiwaku menyapa jiwamu
mencari karismamu pijar
matahari bersaksi anak manusia bersaksi
:Ketika kau bangkitkan rasa berani
terus melangkah ke satu arah
gapura Indonesia merdeka
dan hasrat sejahtera
tatap pandangmu arah cakrawala

Rajawali dan merpati
seakan melintas di angkasa
kutangisi haru bangga
bunga tanjung melati dan gondosuli
kuronce dalam imaji buatmu, bapa

Bogor, 1995







BALADA PUTRA SANG FAJAR II

Saat tiba masa paling sulit
sejarah jadi padang ilalang tersabit
kutangisi diam-diam bias wajah buram
namun semangatmu kugenggam
musim bergulir sejarah kuak tabir
puji Tuhan karismamu utuh kembali hadir
kata-kata bernuansa
dan syair-syair dari getar sukma
kupetik dari kebun nurani
pengganti bunga tabur di pusara
angin ombak embun dan kabut
menyatu di hari ini
mewartakan baladamu Putra Sang Fajar

Aku mewakili
anak-anak Indonesia masa itu
langkah-langkahku datang
dari Aceh sampai Irian
nafasku angin pantai sampai pegunungan
suaraku mencari gema suaramu
kucermati mimbar putih itu
dengan pandang mata bocahku
jiwaku bernyanyi balada Putra Sang Fajar

Bogor, 1995






VETERAN TUA DAN BENDERA

Di langit telah berkibar bendera
tapi orang-orang masih bertanya
tentang kemerdekaan lain
yang tetap menjadi impian
:masalahnya sederhana
(kata seorang veteran tua)
:itu bukan untuk dijawab tapi dihayati
sepenuh jiwa raga sampai mati
kenapa orang-orang mesti gusar
membiarkan hati ngembara
dan jauh tersasar

Sebenarnya kita telah salah mengeja
dan makin salah memberi makna
:kembalilah ke dalam lubuk nurani
temukan butir-butir sifat Ilahi
(orang-orang tertawa)
:kalian tak percaya
(tanya veteran tua)
:di sini ada
ditikamnya dada
ditampungnya darah disiramnya bendera
warna merah mulai pudar itu
kembali nyata
veteran tua memeluk bumi
bendera memeluk angkasa

Bogor, 1995




BAYI PEREMPUAN DALAM IMPIAN ITU
KUNAMAKAN KEMERDEKAAN

Menjadi impian sepanjang musim
adalah sepasang mata bening
seraut wajah tanpa dosa
gerak lembut sarat makna
hadir dari rahim waktu
yang menyatu dengan rahimku
ketika hari-hari makin menjauh
terbangkan angan-angan dan segala
melihat luas lahan kehidupan
menyimak padang-padang perburuan
ke gemuruh laut arungan kubawa dia
ke Mendut langit berkabut kubawa dia
dia harus belajar tentang suara
anak manusia yang sarat beban
dari katarsis ke katarsis
dia kubawa
dari pencarian ke pencarian
dia serta
bayiku menyatu tanpa tangis
karena
dia ruhku, zatku, sepercik ujud
Kuasa-Mu

Mendut, 1995







DI ANTARA BENDERA-BENDERA
ENGKAU BERKIBAR INDONESIA I

Indonesia akulah anakmu
lahir dari lorong luka
dengan peparu penuh jelaga
dengan mimpi gambar gapura
dengan harapan kelebat bendera

Indoensia akulah anakmu
lahir dari liang luka
nadiku kali Ciliwung
dahiku jembatan layang
dadaku trotoar plaza

Indonesia akulah anakmu
lahir dari erang sejarah
peluhku laut mencari pulau garam
darahku ombak mencari bulan tertusuk
lalang, nafasku angin mencari muara

Bogor-Jakarta, 1996











DI ANTARA BENDERA-BENDERA
ENGKAU BERKIBAR INDONESIA II

Indonesia aku rindu kejujuran
Indonesia aku hasrat kikis jerat
Indonesia aku pucat di lobimu terikat
berapa lama trotoarmu dibongkar pasang
berapa lama dusunmu dikapling dipalang
berapa lama aku harus bersaksi nyalang
setiap Agustus cintaku kian meratus
harumnya tembus sampai di rumah kardus

Dari perahu pinisi
lalu perahu kertas Sapardi
kini perahu retaknya Franky
lusa perahu apa lagi
barangkali perahu emasnya Zawawi
Indonesia
biar sengsara aku tetap cinta
Indonesia
biar terlinggis aku tetap tak nangis
Indonesia
biar terlumat aku tetap lekat
karena engkau hidup matiku
karena engkau masa depan generasiku
karena engkau bendera di langit jiwaku

Bogor-Jakarta, 1996






BALADA SANG PERKASA

Bumi langit lembah dan bukit
sepanjang musim terus bersaksi
kehadiranmu sang perkasa
cahaya hidup mahkota jiwa
anak negeri simpan setia
meski sejarah penuh prahara
masih kuingat warna yang susah
siang dan malam menabur gundah
Juni mekar udara menggeletar
Kudengar suaramu dari arah Blitar
Anggun dan mawar

Bapa, Bapa segala Bapa
kasihnya membalut segala luka
di sini aku terus berdoa

Mengiring perjalanan kota tua
kudengar langkahmu menandai windu
menghitung angka-angka perjuangan
yang telah banyak bersimpangan
pilar-pilar pernah ditegakkan
masih berdiri bersaksi
sementara pilar lain tak sisakan
selahan buat prasasti
anak-anak pun kini perkasa
selalu menanyakanmu di mana Bapa
jawabku engkau tengah rampungkan tapa

Bogor, 1996



CATATAN ANAK PERANG I

awan hitam mengapung
di udara malam
kota awal mula peradaban
taman dan jalanan tempat berlarian
makin hari penuh lubang
rincing rebana dan deru pesawat
apa bedanya – ya bapa
seru tangis dan raung sirene
apa bedanya – ya bapa
setiap fajar bangkit
debu Baghdad mengapung di sungai Eufrate
setumpuk giris berlapis-lapis
hanyut perlahan di sungai Tigris
mimpiku tentang Karbala dan Basra
terhapus angka-angka trauma
semua terus berlangsung
semua terus berkabung
tapi aku harus gantikan kakak lelakiku
karena tanah ini denyut jantungku

Jakarta, 1991/1996








CATATAN ANAK PERANG II

ada yang mengalir di sungai musim
harapan-harapan anak perang

ada yang melantun di udara malam
doa-doa anak perang

ada yang menyentuhi detik waktu
mimpi-mimpi anak perang

ada yang tak bisa dilakukan
melepas merpati terbang

ada yang lama dirindukan
berzikir, barzanji dengan tenang

ada yang harus ditinggalkan
menari berkejaran di jalanan

ada yang membubung ke rumah Tuhan
nyawa-nyawa anak perang

Jakarta, 1991/1996






CATATAN ANAK PERANG III

Masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya tulang yang kenangan
langitpun keriput wahai
karena hujan tlah habis jadi tangis
karena suara begitu galau muncul hilang
seharusnya kau tak pergi
selama bapa ke selatan belum kembali

masih adakah yang tersisa
di antara puing Amriya
kulihat hanya darah yang mosaik
menjadi simbol-simbol keangkuhan perang
seharusnya kau bersamaku hari ini
menyusuri lorong-lorong kota
mengumpul warta bagi yang tua
sambil melompat-lompat
di celah reruntuhan gedung
membiarkan otak kita penuh fatamorgana
tentang kota raya bermahkota
kaukah itu di antara kerumun pengungsi
bayangmu pun tak kukenali


Jakarta, 1991/1996





CATATAN ANAK PERANG IV

di antara serpih tulang
ada kenangan panjang
di antara kerak darah
ada keangkuhan menjarah
di antara bau mesiu
ada cinta ibuku
terkubur jadi satu

barangkali akan jadi penyubur
tanah negriku yang kini hancur
barangkali kelak di sini
tumbuh pohon paling tinggi
tumbuh bunga paling wangi
lambang-lambang kehidupan masa depan
tapi aku lebih ingin
ibu dan kakak lelaki ada di sini
lewati hari-hari sederhana
nyusuri lorong kota raya
dalam angan tiada bara

Jakarta, 1991/1996



CATATAN AGUSTUS
SEORANG LELAKI PENJUAL BENDERA

ingatan tebtang merdeka, nang
masih mengental di kopi pahit
kian hari makin pahit
lantaran kebun tebu
warisan canggah moyangmu
telah ditumbuhi tiang-tiang beton

anak cucu yang mulai dewasa
kini bertanya asal-usulnya
dan heran melihat aku yang simpan medali
keliling kampung menjual bendera
setiap agustus menjelang tiba
setiap kusembunyikan air mata

harapan tentang merdeka, nang
terus mengental dalam impian tua
kian hari kian pekat
seperti malam tanpa saat
selagi darah menetes di jalan raya
selagi raungan duka membius kota

api membakar udara malam
tapi sangkur telah lama kusarungkan
doaku bersarang kembali di dada
sementara bebatuan berserak di trotoar
sementara keberingasan mencari mangsa
aku sempurna terusir dari tanah kelahiran

Bogor, 1996

AGUSTUS DALAM ELEGI

seorang perempuan
dengan bendera di pangkuan
terus menuliskan kata di udara
dengan jemari mulai gemetaran

aku waktu yang tak memjbaca waktu
aku arus yang tak membaca arus
aku jusim yang tak membaca musim
aku angin yang tak membaca angin
agustus terus menggerus
jiwa terbakar hangus
tanpa wangi ratus
aku titah tanpa rajah
aku api tanpa cahaya
aku laut tanpa ombak
aku badik tanpa tajam
agustus jadi arus
minuman jadi darah
trotoar jadi getah

seorang perempuan
dengan bendera di pangkuan
terus merasakan kehilangan
saat jemari mulai gemetaran

Bogor, 1997






AMSAL KEMERDEKAAN I

Merdeka itu
awan yang bebas membentuk gambar sendiri
di langit

Merdeka itu
kata-kata penyair yang meluncur alami
sepanjang perjalanannya

Merdeka itu
pakis-pakis yang tumbuh baru di atas lahan
sisa kebakaran

Merdeka itu
langkah-langkah sendiri di siang yang asing
Kiliran Jao

Merdeka itu
belenggu retak lepas berserak
tawa dan air mata jadi satu

Kiliran Jao, 1997








AMSAL KEMERDEKAAN II

Adalah kemerdekaan lain
ketika mataku marah
kecewa pada dunia
ibu senyum sejuk dingin

Adalah kemerdekaan lain
saat aku tertawa lepas
ibu lukis wajahku di kanvas
di siang hari yang berangin

Adalah kemerdekaan lain
aku menari dan bernyanyi
ibu bertepuk menghampiri
jika pergi aku tak ingin


Kemerdekaan yang merdeka
Kemerdekaan jiwa dan raga

Bogor, 1997


KEPADA BUNG KARNO BUNGA SEJARAH

Bung Karno
dalam getar udara terbakar api berhala
dalam debut ombak samodra
dalam desir nadi anak negeri ya Bapa
kami tangkap isyarat semesta Aku-mu
kami tangkap pesan ghaibmu

Bung Karno
guntur dalam suaramu yang suara Bima
gerak dalam juangmu yang gerak Hanoman
karisma dalam sosokmu yang karisma Krishna
adalah karunia sejarah
daya hidup nagi anak bangsa kenyang derita

Bung Karno
di antara barisan panjang
mengiring siang lewati depan istana
masih setia para cucu Marhaen
masih setia anak-anak Ki Suto Kluthuk
angkat bendera warna sakti
dan kepal tangan ke udara
adalah kami yang selalu seru namamu

Bung Karno, kami ada Bung!
Bung Karno, kami tak henti Bung!
zaman telah berubah
mekar kembali bunga sejarah

Bogor, 2000

Jumat, 06 November 2009

PUISI-PUISI DIAH HADANING 2004-2005



Menyimak Perempuan Belati

menangkap senyum kemenangannya
dari tatap mata menyamping arah
menangkap seringai perlawanannya
dari senyum yang sanggup kuliti lelaki
saat senja menabir nampak ia menari
di pelataran berduri
ditantangnya matahari
diejeknya rembulan
ditusuknya gemintang
musim dan sejarah tidak bertuan
dengan pisau sakti bermata ganda
diburunya para leleki jahanam
tuk menuntaskan dendam
menambah guratan
atau membakar simbol adam

tak ada keramat dalam kata
tak ada rahasia di bawah mawar
lelaki yang hanya piawai rejam rahim suci
tak ada tempatnya lagi
belati itu terus bekerja
seiring lava pijar Merapi meleleh jiwa
Cimanggis, 2003-2004


Teluk Banten Masih Setia

Teluk Banten masih setia
kirim buih ombaknya
Tanjung Pontang masih menjaga siang
Tanjung Pujut masih jarring angin dan kabut
Pulau Panjang masih simpan tembang
seiring desir sapu ilalang
di tikungan peradaban

Nyi Ageng Serang
semat sunting semangatnya
Nyi Rangga Sedasa
genggam santun kesetiaannya
para karuhun bingkai jaman dan kawasan
Allah, Allah, Allah
pada-Mu diri berpasrah

Banten, Juli 2004



Di antara Doa-Doa

saat musim usung mimpi perubahan
tragedi menimpa tanah warisan
saksi perjuangan kakek moyang

deram gempa porandakan taratak jiwa
deru gelombang terjang gapura peradaban
tak ada tempat tuk melipat ratap
tak jua sempat simak ulang rubayat
selain doa luka dalam ucap ayat-ayat
dan sebasah nama saksi jamannya
dia raib dalam simpul nasib
kenangan panjang tetinggal di kaki langit
jadi pelangi di batas tabir kelabu
pesan dikirim dari tempat teramat jauh
jangan Tanya siapa-siapa lagi
baca sisa aksara dalam diri
urai simpul rahasia makna
di sana jawab segalanya
luluh lantak ujung negeri
tak hanya peristiwa alam tuk dimaknai
di sana ada misterinya misteri
yang harus dicermati
jadilah insan sejati
jujur dan setia di jalan Ilahi

suaranya hilang
seiring sayup sisa gelombang
seseorang panggil namanya dengan suara terbata
Cimanggis, Pebruari 2005


Sepotong Doa Sungai di Ujung Badai

gemuruh badai diusung layer kaca
seraut wajah hanyut terbawa
barangkali wajah masa depan
bunga Tanah Rencong jika berkesempatan
kini hanya seangka korban
hanya mujiat-Mu jua
ia terasuh Sang Waktu

sepotong doa sunyinya
jadi serat kabut di langit Banda
sepasang mata dukanya
mencari ruh Seudati di ujung bencana
sepi menelan doanya
tak lukisan mana mampu samai warna
warna duka itu sangat sempurna

seutas kasih sayang
lepas dalam hempas gelombang
sisakan sepi seutuhnya
mencari bentuk keajaiban

Cimanggis, Januari 2005



Sisa Kota Peradaban
(Mencari Maskirbi dalam imajinasi)

:sesaat orang masih saling bincang
tentang luas dan perubahan
tentram damai tanah pantai
lalu bencana melanda
hempasan ombak samodra usai gempat
punah semua wahai Cut Nya
yang tersisa bayang-bayang bunga cempaka
dalam serat kabut Banda

di antara puing kota
mencari wajah-wajah
mungkin ibu mungkin ayah
serasa ingind dengar kembali
saat dendang saat marah
melangkah pelan di jalan lama
jalan kecil yang dulu selalu menaggil
akhir tahun tinggal gigit

syair tua, dendang dan tari itu
selamat dalam hatiku, bisiknya kaku
sambil tak henti panggil namamu
Ulebalang, Ulebalang, Ulebalang
cucumu daun melayang

Cimanggis, Januari 2005


89
Teunom, Sebuah Mosaik Retak
(Buat dokter Nursanti di pinggir Teunom)

dentsng-dentang layar kaca
memasang mosaik bencana
sebuah kimat kecil dunia fana
Banda kecil tanpa rembulan
bulan telah ditelan gelombang
mengintip gempa susulan

ada Teunom mosaik retak
dalam dekap perempuan bijak
yang berjanji akan terus bertahan
di pinggir jauh puing runtuhan

Teunom sempaka kecil itu
bayangan sebuah kesetiaan
tangan cinta perempuan Nursanti
dilipat kerudung tersimpan
sejarah tak perluka kata-kata
tangan lentik adalah ketegaran cinta
Cimanggis, Januari 2005


Kabar dari Beranda yang Tersisa

sesiapa masih tertinggal
bersendiri di beranda ajal
matarantai peradaban tua
lepas dari hari luasa tanah pulau
hempas gelombang menghela sempurna
mantra-mantra bunga raya
tak lagi tersisip di telinga
seiring raibnya tugu batu
saksi bisu doa ibu
langit kosong turun di mata sepi
endap lumpur memadat di hati
Cimanggis, Januari 2005



Deru Dera

adakah bunga cempaka tanah Cut Nya
masih mekar putting kuning
sisakan peradaban warna
manakala antaran peduli Aceh
ternoda tangan-tangan berhala
ternoda hasrat-hasrat candela
tak ibarat tak jua ayat
mampu hapus tanda-tanda oleh alpa

tercipta sudah peta hitam
tercipta seiring deru gelombang
hempas pagi tanah serambi

dibilang dihitung angka-angka
seiring delapan arah kiriman doa
tanda masih ada peradaban

tapi ada tangan durhaka sisipkan pengkhianatan
sementara bocah kecil sepi menggigil
kehilangan lentera hari lusa
di tanah airmata saat badai reda
Panglima tua muncul dari kabut sejarah
hatinya luka oleh para pendosa
doa purbanya tanpa suara:
Tuhan, ampuni para pendosa atau lebur jua
Cimanggis, Januari 2005
Catatan: Candala (Jawa) = jahat, hina.

92
Honocoroku Rahayu Buat Ibu

Agung, Agung, Yang Maha Agung
Harum, Harum, Yang Maha Harum
Maha Agung dan Harum hanyalah ENGKAU

Ibu dan aku adalah coroko
coroko tanpa sowoto
karena kami saksi jaman
perubahan ke perubahan
alam yang beda makin kekalkan cinta
irama langkah masih senada
iramanya alam semesta
kini gejolak menghentak
rindu janji di siang retak
sambil anyam bayangmu ibu
doa-doa kulantunkan
bunga gurit dan kidung kuulang-ulang
ritus ke ritus dan ritualan
selalu kubatin namamu
yang menyahut gema kidungmu
merayapi tahun dan windu:
Sebutlah Allah Gustimu

Cimanggis, Desember 2004


Kelanjutan Sebuah Narasi I

kota-kota menciptakan sejarahnya sendiri
lepas dari urutan waktu
manusia tua apung senyum di awang-awang
lukis keindahan tercipta dari bayang-bayang
dan kerakusan jadi balada lepasnya nyawa-nyawa
sementara bumi terus benihkan dosa-doa
langit siram hujan tuba cipta keangkuhan jiwa
belah akal jadi bekal sambut dajal
kuras daya jadi bara sambut duraka
bermain dengan nasib antar zaman anyir
berhala tertawa dalam
dajal bersarang di kepala
terdengar tabuhan gara-gara
perempuan kerudung hitam tangisi tanah merdeka
Cimanggis, September 2004


Kelanjutan Sebuah Narasi II

seseorang angkat pedang
tumbal berjatuhan di seberang jalan
sebuah fragmen ternggut dari tabirnya
rembulan gerhana dan purnama bergantian
matahari mencari narasi sendiri
narasi baru telah diambil bocah-bocah masa depan
dilipat-lipat jadi perahu impian
diapungkan di sungai air mata
mereka terus bermain dalam gelar semesta
meraih-raih mega menghela-hela rasa
sampai akhirnya matahari padam
hilang terang hilang bayang
yang tersisa hanya gema selawatan dalam hitam
Cimanggis, September 2004
95
Membaca Bahasa Lelaki

Lelaki penunggu Kali Wisa
lelaki selalu geliatkan nasib pantura
setahun sekali lupakan pengkhianatan kota
pernah tertikam pedang berkarat
saat rembulan berkalang

Sementara lelaki Akar Rimang
lelaki serat kayu bentuk Adam
ditatah diukir sungsang cuaca
jiwa latu baker tubuh sendiri
jika musim kikis sisa habis tinggal gamang

Lelaki sederhana cemaskan bukit kapur
ngidung malam kirim doa leluhur
menatap rembulan separo
siapkan penolakan atas algojo
bukit kami adalah sisa segala sisa, keluhnya

Sementara lelaki cemaskan lading sawi
menuai kilat lidah belati
menatap matahari bulan Sembilan
serunya tertahan: kusiapkan bibit wijaya kesuma
setelah kucabut akar ilalang
Cimanggis, September 2004
Catatan: latu (Jawa) = api




Membaca Bahasa Gaduh

berujar tak pada siapa
melepas malam menerka waktu
malam gaduh di kota-kota
kota gaduh di rumah-rumah
rumah gaduh di jiwa-jiwa
lalu terdengar suara tua
bicara tentang kesaksian akhir abad
terbayang tanah gersang berdarah di ujung belati
luka-luka memasir busuk di teluk-teluk

jika penembang, tembangku gaduh
jika pendoa, doaku gaduh
jika perindu, rinduku gaduh
jika pemimpi, mimpiku gaduh
betap rindu hening yang bukan sepi
tak dikoyak raung mikropon pagi
seseorang coba memaknai abad baru
lepas dari tafsir-tafsir sungsang
lepas dari hasrat-hasrat grangsang

barangkali:
melati kembali putih bukan dalih
mawar kembali merah bukan darah
suwung jadi rumah dalih jadi sumpah
deras hujan basuh musim tak banjir
deras dzikir usap pikir tak pandi
deras dakur jaga syukur tak hancur
kalau saja tak lagi bahasa gaduh
berujar tak pada siapa
Cimanggis, September 2004


Rerasan Pesisiran

delapan windu angka jadi guguran bunga
ditebar angina tenggara pengunci Tanya
laut pun tak tanya akan ombaknya
ombak pun tak tanya akan deburnya
orang-orang pesisir diam-diam hitung musim
gumam tembang pesisiran
tak lagi cemasi kampong tepi laut
tempat angan perempuan tersangkut
karena rembulan dan mentari telan jabat cahaya
tak lagi cemasi pagi jelang upacara
karena cakrawala dan kening telah menyatu
seiring tembang syahdu

dalam jiwa hadir hari keramat
dalam sukma hadir hari bertobat
orang-orang dengar suara genta
tak lagi raung-raung tangis purba
tak lagi keluh kesah nafas terengah
semua telah di ujung langkah
semua telah di batas waktu
saatnya Sabdopalon dan Noyogenggong
hadir kembali menagih janji
seiring munculnya tanda-tanda alam
gunung-gunung meletus
alam murka banjir melanda
huru-hara di mana-mana
lalu teduh tenang
tanah air damai raya
Cimanggis, September 2004



Membaca Bahasa Transmisi 04

Setumpuk bara senyala
Adalah lambing orang-orang pejalan kurun
Seruas langit sepotong doa
Adalah gurit jiwa orang-orang tanah utara
Tembang eratkan genggam
Orang-orang saling bungakan masa depan
Jepara pulangkan yang pergi
Jepara ramaikan yang sunyi
Sementara orang Sampit datang malam kelelahan
Tak lagi perang selain tembang
Kubawa cinta dan bunga se-Kalimantan
Didekapnya orang-orang unggun rembulan

Ikan laut gelapar dalam bara
Bara percikkan bunga di udara
Orang-orang masih berbincang
Anak Ki Suto Kluthuk merenung panjang

Suara siapa usung berontak jiwa
Di antara deram gendering dan kibas bendera
Jepara nyala dalam bara
Jepara bangun dalam unggun
Serasa andika bersaksi mala mini
Wahai Shima, Kalinyamat dan Kartini
Anak cucu menandak dan menembang
Kusimak orang-orang akar rimang

Jepara, Agustus 2004


Membaca Bahasa Hujan

karena tiada kali direntang jembatan
Kubanjirkan sungai hujan
karena tak sebahasa mengeja makna
Kukejutkan musim bunga dengan pohon tumbang
karena keangkuhan jadi mahkota jiwa
Kulongsorkan bukit-bukit tanah pinggiran
tangis kata Aku hilang Keadilan
Aku sedang Ciptakan penyembuhan

seorang perempuan membaca dalam diam:
barangkali melati kembali putih
barangkali mawar kembali merah
harusnya suwung menjadi rumah
harusnya dengung menjadi prasetya sumpah
deras hujan membasuh senja April
deras dzikir membasuh jiwa
Bogor, April 2004



Membaca Bahasa Petir

petir menyambar udara senja
tinggalkan getaran aneh di beranda
mosaik nada suara:
Yang kelabu langit bukan jiwa
yang melidah api bukan amuk rasa
tak hanyut Aku-mu oleh itu
tak kusut hasrat latu
baker suara purbamu
langit simpan hujan
musim simpan sisa peradaban
kenapa masih tak percaya
Akulah Penguasa Semesta
pantas murka oleh durhaka
saat di Pintu Rumah-Ku
bersila para insan jiwa berhala
aku jua muara pengampunan
Petir-Ku lewat karena
kidungmu luruh di ujung senja

petir menyambar kembali
menjauh di udara tinggi
tinggalkan garis mosaik api

Bogor, April 2004

Kamis, 05 November 2009

PUISI-PUISI DIAH HADANING SEPANJANG 2005

Amsal Ilalang

I. amsal ilalang sedang digubah tembang
seseorang digotong pulang
kejang menatap mega
perempuan paska gara-gara
mosaik alam diusung jiwa
jiwa meronta dan melolong
si penolong jadi kepompong

II. semua berubah di tanah ini
temaram tanpa warna
bintang, bulan purnama awan mega
bunga mawar, puisi dan pelangi
semua simpan aroma amunisi
lelaki tak bernama atau perempuan lugu
kehilangan taman kota

III. ilalang tak lagi tumbuh di padang
subur merambah jiwa gersang
para tualang penggadai masa depan
langkahnya masih jauh
warta dibawa ombak gemuruh
menyapu ilalang dan tembang
tinggalkan serpih janji para tualang

IV. mengurai pagi menyisir serat kabut
di beranda mengetuki dada
mengharap sandar perahu mayang
sementara tanah perdikan jadi milik tiran
yang tak suka tembang apalagi ilalang
yang membiarkan orang menunggu kesempatan
sampai dimakan ilalang

Cimanggis, 2005




Catatan yang Tertinggal I

menghitung langkah ke langkah
memasuki ruang dan waktu
menata jejak ke jejak
menjadi peta perjalanan umur
tak peduli jaman tebar api
langit tebar hujan belati

abunga-bunga kecil
di beranda kehidupan
mekar wangi pagi senja
petik harumnya simpan dalam kalbu
jadi pengantar kidung persembahan
setiap purnama lingkar sempurna

sadarnya hadir di puncak musim
bukan lagi pasang teratak bicara-bicara
tapi melakukan yang bisa dilakukan
memasuki ruang dan waktu

Teratak Gondosuli, Desember 2005



Catatan yang Tertinggal II

tak hitung windu
sampai gunung longsor patah penjor
sampai lindu guncang gapura hilang
ada yang tak tereja
angka di langit warna di mosaik
selalu ada yang tak tereja

tak hitung musim
sampai beburung lintasi awan
sampai pohon-pohon meditasi musim
ada yang tak tereja
langit sesudah malam sisakan pucat bulan
selalu ada yang tak tereja
Teratak Gondosuli, Desember 2005




Benih-Benih yang Ditanam

adalah benih-benih
yang ditanam di basah lahan
adalah daun lontar
ditata seputar mimbar
bukan bagian suluk dalang

benih-benih dan daun lontar
menjadi lembar damba tua
menjadi tangis dan tawa
anak negeri yang asing di tanah sendiri
setiap siang menyapa angina
setiap malam menyapa bintang
setiap gerhana menyapa luka
hari menjadi minggu
bulan menjadi tahun
windu menjadi umur
saat tanah Jawa kehilangan danyangnya
saat nurani lepas dari buhul iman
padamu kutemukan segala yang hilang

sebutir damba orang pinggiran
melesat menjadi bintang
semula aku gamang
sampai tumbuh di antara uwuh
sepohon kukuh tepis mengatruh
Cimanggis, Juli 2005



Di Teratak Tua

di teratak tua tanah utara
run-temurun orang-orang sederhana
bermukim sepanjang musim
di kisah baru kan hadir naga kepala tujuh
radius bahaya tiga kota tua itu

dengar gemuruh ombak
alam beri tenaga serempak
dengar desing tiupnya angina
kan penuhi selaksa ingin
pandang cahaya matahari
sejak purba padanya manusia mencari
daya tumbuh, usir gamang, hangat terang

di hari elokmu wahai putera angin Timur
kuberi bukan seikat mawar dewata
namun derail-deru kata-kata
ruh ombak, angin, mentari dan bungan
mosaik hidup-mati kawula

Cimanggis, Juli 2005



Menghitung Angka

lama, lama, menghitung angka
sejak kanak sampai dewasa
lama,lama, menyimak arti
kini aku baru mengerti
banyak rahasia di bilik jiwa
para petinggi yang alpa
beda sumpah beda janji
beda pula yang terjadi

eloknya angka jiwa bicara
satu jadi tujuh enam jadi gendam
umur bisa tumbuh jamur
angka berhala tak pernah jujur

di tanah ini orang suka bermain angka
hidup angka mati angka lalu amuk massa
ucap jadi asap menembus atap
janji suci bisa pembunuh abadi
karma dinodai sejak jaman Singosari
enam dasa warsa sudah merdeka
masih menisik sisa luka
entaskan kami dari sungai arus duri

Cimanggis, Juli 2009





Fragmen Tanpa Ornamen

hari ini kuwakili
berjuta anak cucu sisa peradaban
dari bumi ijo royo yang abadi dalam gunungan
gemah ripah loh jinawi ndah dalam suluk dalang

hari ini kuwakili
kenyataan tak terbilang
hitam kelabu mulai hapus warna hijau
instalasi baru derita para kawula
limbah tak lagi milik sungai
tapi di lidah para pemikir baru
yang ngungsi tidur saat harusnya terharu
menyimak tangis korban ketidakadilan
rembang pagi kuketuk pintu purimu
wahai putera sang waktu
dengar, dengarlah suara jiwa
anak cucu Ki Suto Kluthuk
windu-windu hidup tersaruk

hari ini kuberaksi
di antara langkah-langkah dan sabarmu
adalah para Durna dan Sengkuni
yang muncul salah jaman

Cimanggis, Juli 2005



Berdialog dengan Jakarta

Jakarta
selamat pagi-siang-malam
salam hati sepanjang musim
kusapa engkau saat purbani di bulan Juni
kusapa antara slum Mangarai dan gebyar Harmoni
kusapa antara rimba beton dan rel-rel

Jakarta
musim mengirim angin ke sudut-sudut kota
cahya melambai urban ke liang-liang luka
penjara nasib dimasukinya
pintu-pintu tak terkunci jadi kebebasan semu
penjor-penjor penuh warna sungging tawa
wajah-wajah berkaca di tigabelas sungai kota
dari catatan ke catatan
simpan mosaik kehidupan

Jakarta
rangkaian bunga masih melambai di balkon Harmoni
kami coba meraihnya karma pernah kau janjikan
kami datang bertemperasan jadi laron memburu lampu
mengusung harapan tak berkesudahan
timbul tenggelam antara umbul-umbul dan kibar bendera
jatuh bangun antara rizki-paha-dosa
hari jadi tahun-tahun jadi windu-windu jadi abad
sesekali berseteru sesekali bersahabat

Jakarta
di bayang bulan kami menyalakan lilin agar jiwa tak padam
di ambang fajar kami tembang balada agar jiwa mekar
mantra dan doa jadi akar hasrat pohon hayat
bumi dan langit jadi saksi ruwat sengkalmu
dalam bualan Aki Nyai Rejasari

Bogor, Juni 2005



Pesan Aneh Dalam Kidung

adalah kidung, tentang hidup lara
adalah lara, karunia Yang Maha Kuasa
dan akhirnya, meratap senantiasa
hilang kiblat karena hilang martabat
jadi manusia bangga serba
tatanan diubah karena hasrat suka
takut tiada, walau hukum alam balik suasana
ingat tiada, akan doa orang-orang pasrah
hidup jadi korban dicacah

mengadu pada biyung
aduh biyung, biyungku telah tiada
mengadu pada bapa
aduh, bapaku telah pergi jua
mengadu pada petinggi
aduh, petinggiku nyaris alpa
lebih baik mengadu pada Yang Maha Kuasa
aduh, Gusti, mohon ampunan

terdengar pesan aneh dalam kidung
pesan sang arif hati mulia
tamba hati lima pasal
insya Allah Tuhan akan memberkahi
jika bisa jalani salah satunya

Cimanggis, 2005



Fragmen Pagi Ujung Negeri

deraknya sampai di serambi rumah kata
getarnya sampai ke lubuk jiwa
retak bumi retak hati
manakala kota terbelah
semewntara seraut wajah
ke Serambi-Mu mencari celah

sehembusan nafas
lengan pelindung lepas
hentak jiwa deru gelombang
lenyap segala yang tersayang
retak langit retak mentari
ke Serambi-Mu cari sembunyi

Pinggir kota, April 05



Catatan Agustus Tahun Ke-60

bayiku bernama kemerdekaan
lahir dari rahim sejarah
bertualang putih berdarah merah
wajah rembulan jantung matahari
tumbuh dalam asuhan musim dan perjuangan
bertahan dari bencana dan pengkhianatan

bayiku kini perkasa
kusebut pesona merdeka
kuiring kumandang tembang dan doa
kuiring khusyuknya puji dan gita
tapi derita tak henti mendera
orang-orang datang dari segala penjuru
semula bijak baru menggebrak
semula nolong akhirnya rongrong
anak jaman terus bertahan
antara jepitan dosa lama
dan hempasan dosa baru

bayiku terus tumbuh
meski kota tak henti rusuh
dikelilingi aneka makhluk tanpa warna
seringai Durna, Sengkuni, Burisrawa dan Kurawa
semua tunjukkan cinta dan pengabdian
tapi selalu salah jalan

Bogor, 2005


Catatan Tua dari Pungkuran

Jepara makin tua
ombak panjang tak pernah reda
angin utara di kota bersarang
meneteskan harapan-harapan
dan perempuan-perempuan sederhana
tetap percaya hari lusa
hari pembaruan

mentari siram cahaya
ke setiap padang jiwa
hidup tak lagi gersang sabana
namun lembah hijau kemilau
langkah panjang tlah awali
hari-hari tanpa duri
siring putusnya belenggu tua

nasib tak lagi tergadai
nafas tlah menyatu angin
nadi getarkan ingin
denyut itu irama kehidupan
wibawa yang ditegakkan
langkah yang satu arah
meski Jepara makin tua

Jepara, April 2005




Catatan Hujan di Tikungan Kota

tulang berserakan dikumpulkan
di taman tikungan kota

getar jiwa dimantrakan
dalam doa senandung pelangi Songgolangit

malam masih muda
hujan basahi kerang di taman

malam poranda di ujung catatan
taman kota sepi ditinggalkan hati

Jepara, April 2005




Menyimak Perempuan Belati

menangkap senyum kemenangannya
dari tatap mata menyamping arah
menangkap seringai perlawanannya
dari senyum yang sanggup kuliti lelaki
saat senja menabir nampak ia menari
di pelataran berduri
ditantangnya matahari
diejeknya rembulan
ditusuknya gemintang
musim dan sejarah tidak bertuan
dengan pisau sakti bermata ganda
diburunya para leleki jahanam
tuk menuntaskan dendam
menambah guratan
atau membakar simbol adam

tak ada keramat dalam kata
tak ada rahasia di bawah mawar
lelaki yang hanya piawai rejam rahim suci
tak ada tempatnya lagi
belati itu terus bekerja
seiring lava pijar Merapi meleleh jiwa
Cimanggis, 2003-2004



Teluk Banten Masih Setia

Teluk Banten masih setia
kirim buih ombaknya
Tanjung Pontang masih menjaga siang
Tanjung Pujut masih jarring angin dan kabut
Pulau Panjang masih simpan tembang
seiring desir sapu ilalang
di tikungan peradaban

Nyi Ageng Serang
semat sunting semangatnya
Nyi Rangga Sedasa
genggam santun kesetiaannya
para karuhun bingkai jaman dan kawasan
Allah, Allah, Allah
pada-Mu diri berpasrah

Banten, Juli 2004




Di antara Doa-Doa

saat musim usung mimpi perubahan
tragedi menimpa tanah warisan
saksi perjuangan kakek moyang

deram gempa porandakan taratak jiwa
deru gelombang terjang gapura peradaban
tak ada tempat tuk melipat ratap
tak jua sempat simak ulang rubayat
selain doa luka dalam ucap ayat-ayat
dan sebasah nama saksi jamannya
dia raib dalam simpul nasib
kenangan panjang tetinggal di kaki langit
jadi pelangi di batas tabir kelabu
pesan dikirim dari tempat teramat jauh
jangan Tanya siapa-siapa lagi
baca sisa aksara dalam diri
urai simpul rahasia makna
di sana jawab segalanya
luluh lantak ujung negeri
tak hanya peristiwa alam tuk dimaknai
di sana ada misterinya misteri
yang harus dicermati
jadilah insan sejati
jujur dan setia di jalan Ilahi

suaranya hilang
seiring sayup sisa gelombang
seseorang panggil namanya dengan suara terbata
Cimanggis, Pebruari 2005


Sepotong Doa Sungai di Ujung Badai

gemuruh badai diusung layer kaca
seraut wajah hanyut terbawa
barangkali wajah masa depan
bunga Tanah Rencong jika berkesempatan
kini hanya seangka korban
hanya mujiat-Mu jua
ia terasuh Sang Waktu

sepotong doa sunyinya
jadi serat kabut di langit Banda
sepasang mata dukanya
mencari ruh Seudati di ujung bencana
sepi menelan doanya
tak lukisan mana mampu samai warna
warna duka itu sangat sempurna

seutas kasih sayang
lepas dalam hempas gelombang
sisakan sepi seutuhnya
mencari bentuk keajaiban

Cimanggis, Januari 2005




Sisa Kota Peradaban
(Mencari Maskirbi dalam imajinasi)

:sesaat orang masih saling bincang
tentang luas dan perubahan
tentram damai tanah pantai
lalu bencana melanda
hempasan ombak samodra usai gempat
punah semua wahai Cut Nya
yang tersisa bayang-bayang bunga cempaka
dalam serat kabut Banda

di antara puing kota
mencari wajah-wajah
mungkin ibu mungkin ayah
serasa ingind dengar kembali
saat dendang saat marah
melangkah pelan di jalan lama
jalan kecil yang dulu selalu menaggil
akhir tahun tinggal gigit

syair tua, dendang dan tari itu
selamat dalam hatiku, bisiknya kaku
sambil tak henti panggil namamu
Ulebalang, Ulebalang, Ulebalang
cucumu daun melayang

Cimanggis, Januari 2005



Teunom, Sebuah Mosaik Retak
(Buat dokter Nursanti di pinggir Teunom)

dentsng-dentang layar kaca
memasang mosaik bencana
sebuah kimat kecil dunia fana
Banda kecil tanpa rembulan
bulan telah ditelan gelombang
mengintip gempa susulan

ada Teunom mosaik retak
dalam dekap perempuan bijak
yang berjanji akan terus bertahan
di pinggir jauh puing runtuhan

Teunom sempaka kecil itu
bayangan sebuah kesetiaan
tangan cinta perempuan Nursanti
dilipat kerudung tersimpan
sejarah tak perluka kata-kata
tangan lentik adalah ketegaran cinta
Cimanggis, Januari 2005




Kabar dari Beranda yang Tersisa

sesiapa masih tertinggal
bersendiri di beranda ajal
matarantai peradaban tua
lepas dari hari luasa tanah pulau
hempas gelombang menghela sempurna
mantra-mantra bunga raya
tak lagi tersisip di telinga
seiring raibnya tugu batu
saksi bisu doa ibu
langit kosong turun di mata sepi
endap lumpur memadat di hati
Cimanggis, Januari 2005



Deru Dera

adakah bunga cempaka tanah Cut Nya
masih mekar putting kuning
sisakan peradaban warna
manakala antaran peduli Aceh
ternoda tangan-tangan berhala
ternoda hasrat-hasrat candela
tak ibarat tak jua ayat
mampu hapus tanda-tanda oleh alpa

tercipta sudah peta hitam
tercipta seiring deru gelombang
hempas pagi tanah serambi

dibilang dihitung angka-angka
seiring delapan arah kiriman doa
tanda masih ada peradaban

tapi ada tangan durhaka sisipkan pengkhianatan
sementara bocah kecil sepi menggigil
kehilangan lentera hari lusa
di tanah airmata saat badai reda
Panglima tua muncul dari kabut sejarah
hatinya luka oleh para pendosa
doa purbanya tanpa suara:
Tuhan, ampuni para pendosa atau lebur jua
Cimanggis, Januari 2005
Catatan: Candala (Jawa) = jahat, hina.

Selasa, 03 November 2009

PUISI-PUISI DIAH HADANING 2006-2008




KESAKSIAN LINGGARJATI
musim telah menjadi windu
windu telah menjadi abad
sirnakan pedang berkarat
dari perjanjian penuh tipu muslihat
hidup adalah kesadaran membela kebenaran
hidup adalah kesetiaan menjaga jatidiri
zikirkanlah sepanjang sejarah
kata-kata yang bertuah
hidup harus ‘dipagari’
bangkitlah karena harus bangkit
bangkit dari jatuh yang sakit
jangan ulang bangsa tertipu lagi
linggarjati jadi saksi
janji wong asing sebatas wacana
sembunyikan hasrat khianat
linggarjati sejuta arti
jangan lupa sumpah merdeka atau mati
jangan ternoda makna hakiki
bangkit bukan sekadar bangun
bangkit bukan sekadar melangkah
bangkit adalah sadar sepenuhnya
bangkit adalah waspada segalanya
jika lupa sekata makna
akan linggarlah sang jati diri
akan hilanglah sesungguh-sungguh eksistensi
linggarjati sanepa bangsa pernah didustai
jadikan linggarjati kini penyadaran
untuk meraih pencerahan, seabad kebangkitan bangsa
Mei, 2008


MENEMUKAN JEJAKMU
menemukan jejak bunga kota kelahiran
seakan merasakan hangat nafasnya
mengisap tanjung, soka putih dan melati
seakan menampak kelebat wiru
dalam hiruk pikuk pembaruan
suaramu mengelus jiwa kepompong
para perempuan tak perkasa namun sombong

menemukan jejak purnama di langit purnama
dalam lintas awan di bayang malam
April menyimpan gigil
ritualan telah memanggil
sang resi,sang wiku,sang pertapa
andika yang berdiri di gapura
terimalah tembang jiwa
yuk warih memercik daya
menepis sungkawa

sudah sun dengar semuanya
gurit langit tembang dendang doa mantera
tabir kabur jadi terang
teduh damai
segala rimba
gunung dan padang

Jepara, April 2008


CATATAN SATU: RUWAT ARI-ARI KARTINI
diantara lintas cahaya
mekar bunga-bunga misteri-Nya

syukurku atas segala keindahan
yang kau siramkan ke haribaan bumi
yang menumbuhkan bibit sari kehidupan
yang membuat semi segala tunas
yang membuat mekar segala bunga

di jagad nyata
di jagad maya
Mayong-jepara,April 2008

CATATAN DUA: RUWAT ARI-ARI KARTINI
kurasakan
makna kehadiranmu, ibu
kugenggam mutiara dan melatimu
dalam setiap gerak langkah
ikuti jejak tapak yang kau petakan
dalam jiwa mekar sekuntum bunga misteri
mekar di antara lintas cahaya
mekar di antara kelopak suci atas ari-ari
ku hantar dengan zikir doa dalam ruwatan

jadilah tembang dan gurit
sembuhkan segala rasa sakit
Mayong-Jepara, April 2008
33
Balada Sebuah Nusa I

lagukan SORATA agar lusa tak lagi duka
sorata-sorata-ooooo-sorata
di bening danau Sentani
di lereng pegunungan Kumafa
di bayangnya teluk Wao dan Bira
tepian duka Papua duka Nusantara
rawat kasih Papua kasih Nusantara
tegakkan prasasti suci: satu malam kurun jaman
sinar timur bersinarlah
cahya jiwa bercahyalah
menembus ruang dan waktu
memekarkan doa-doa
mewangikan musim di pulau-pulau
sepanjang urat nadi nusantara
ujung barat sampai Papua
satu jiwa satu rasa satu karsa
semilyar serat cahaya, ya ondoafi
getar semesta sirna duka tahun silam
hasrat sungsang akan hilang
usung smangat hari datang

Jakarta, Desember 2007


BALADA SEBUAH NUSA
o, tak lidah mampu ucap kata
tak kata mampu ucap rasa
tak rasa mampu urai misteri
saat ondoafi basuh Papua dengan air danau sentani
pesannya dibawa gelombang angin teluk dan tanjung
jika melangkah salah arah
jika menembang salah nada
jika berdoa salah kata
jangan salahkan mata air jadi air mata
jangan salahkan tanah air jadi air tanah
tumpah kemana-mana jadi bencana
orang-orang berdiri sepanjang pantai
menyanyikan SORATA sepanjang malam
agar lusa tak lagi ada duka
matahari terangi tanah Yamdena
matahari terangi tanah Yamdena
matahari beningkan danau Jamoer dan Sentani
beningkan semua danau Nusantara
bunga-bunga mekar dari segala gunung
simpan harapan orang-orang sederhana
simpan bias cahaya hati semua saudara
datang, datanglah, cahaya di hati
bawalah imanku kembali, datang, ho!

Jakarta, Desember 2007


PERTANDA I
seorang lelaki membiuskan cerita lama
kepada perempuannya yang sederhana
dan didustai sekian lama
atas nama fatamorgana
seorang lelaki picingkan mata meniti wajah
yang di masa silam diraih siang malam
tapi musim cepat berubah
diam-diam surat suci berlumur nanah
sementara di kota-kota
derita anak manusia semakin parah
jadilah perempuan yang baik
bisik lelaki menggiring
masa silam aksaranya: jadilah segala bagiku

lelaki mencoba senyum sembunyikan dosa:
(perempuan telah tahu namun membiarkannya
kali ini diam ternyata emas)
para perempuan akhirnya diam kaku
kaki mereka berubah jadi pohon
wajah berubah jadi cahya ajaib
terkurung dalam lampion-lampion merah
tragedi tanah tumpah darah


PERTANDA II
kelelawar tak sabar di ambang fajar
ciptakan tanda atau hanya fatamorgana
fajar dini hanya bias purnama di kali
obat gaib bagi jiwa lukisan aib
jarum jam karat cipta dengus sekarat
sekadar tanda?
tanya orang muda mengaku lahir dari batu
kusumpah pengukir jiwa yang jahanam kan terkutuk
karena membuat bunda remuk
kusumpah alam murka kan gulung para pendosa
tragedi buah anggur
tanpa belati pun hancur

Teratak Gondosuli, September 07

DI TIKUNGAN MUSIM
para perempuan menangisi cakrawala
air mata membanji jadi rawa-rawa
hujan salah musim jadi elegi
tanpa tanda tanpa kata
bukit longsor
laut pasang
gempa melanda
kota luka
para demang bersaluang
yang tersisih mengerang-erang
para dajal hunus pedang

paea perempuan ratapi danau suci
yang raib bersama riuh suara perawan
ramai mabok suka serahkan mahkota purba
melangkah pejam lupa pintu lupa jendela
dajal bersalam menyamar lelaki anak zaman
bersarang dalam diri memimpin alpa
yang lupa di rumah ada perempuan setia
o, kota tua, negeri tua, zaman tua
sesiapa tertatih mencari mahkota
kebenaran sisa peradaban
saat bumi retak laut gelegak

Teratak Gondosuli, September 2007


MEMBACA PERUBAHAN MUSIM
yang tak terbaca di awal mula
ketika perjalanan itu pertaruhan jiwa
disirnya gigir musim
lalu mulai bermukim
di teratak tua simpan mimpi purba
hari lusa dipercayakan
pada Sang Perawat Kehidupan
pada yang menjaga raga
pada matahari fajar
pada ruh pemancar

musim berubah
ada yang melimbah
sampai matahari jadi cawan hitam
mimpi elok jadi biji asam
hadirkan prahara jagat diri
angina perubahan musim
mendesing nerobos jeruji hati perempuan
kidungkan kehidupan sebelum hilang rembulan
di ujung pasrah di ujung langkah
mekar bunga misteri-NYA
Bogor, Agustus 07


PESAN GAIB BAGI PEREMPUAN TERLUKA
pesan-pesan gaib tersembunyi
dalam serat hujan, lelakiku
diam diam membuka maknanya sendiri
satu satu menyapa dengan bahasa gigil
perempuan terluka toreh pisau jiwa
tak henti kirim doa di setiap pusara
apakah makna geletar nadi
setiap hentak langkah ingat sumpah bagi
saat pergantian musim lepas kemarau
reranting bersaksi di sisa warna hijau

para penghuni alam halus
berbisik tulus
serat hujan dalam hati
diam-diam mereka hapus
dengan asap ratus
“bangunlah nini doa belum ditata
tenanglah nini tembang belum dilaras
heninglah nini kembang belum dironce
percayalah malam nanti purnama sempurna
saaat kaubaca syairan jawa
jangan lupa zikir kuna hanacaraka”

lereng Merapi, purnama 2007




DI ANTARA MATAHARI, OMBAK, ANGIN ADALAH DIRI
diantara derap langkah anak bangsa
diantara gelar mosaik cita-cita
diantara pendar cahaya mercusuar
pulau-pulau dalam lingkar nusantara
kami tiupkan mimpi-mimpi bocah
kami lekatkan harapan-harapan tak terbilang

tak ada kata henti dalam kamus hati
tak ada kata lelah dalam kamus langkah
kami ikut menuju satu arah
masa depan tanah air jaya raya
merdeka dalam jiwa
melagukan hymne dan mars kehidupan
menjadi bagian dari sejarah
menjadi satu dalam denyut jantung pertiwi

matahari di langit tinggi
ombak-ombak di batas cakrawala
desing angina di musim pancaroba
adalah kami yang tak henti bersaksi
atas nama kesetiaan
walau dalam keterbatasan
yang tak melihat tapi MELIHAT
yang tak mendengar tapi MENDENGAR
yang tak melangkah tapi MELANGKAH
dengar, dengarlah suara kami nada tabah
menyusuri padang terbuka, bukit dan lembah
menjadi doa dan lagu mengukir hayat
datang, datanglah cahaya di hati
bawa, bawalah imanku kembali
datang, datanglah kuseru namamu: bapa….
Jakarta, 2007


QUANTUM LEAP I
malam malam di plaza
kata-kata jadi daun pohon hayat

hujan mengirim sentuhan
mimpi orang-orang pinggiran

perempuan di mimbar jiwa menggelepar
menuntut janji dan sumpah ikrar

malam larut mimpi hanyut
sisa harapan hendak disulut
Jakarta, 2002-2007


QUANTUM LEAP II
misteri itu bisa berupa bunga
yang mampu mencairkan abad-abad
menjadi sungai tenang
mengalir nuju keabadian
kita mengapung di atasnya
sambil nembang smaradahana

misteri itu bisa berupa kata
yang mampu mendarahkan jiwa
manakala sebuah prasasti dipatahkan
Jakarta, 2002-2007


QUANTUM LEAP TIGA
langit temaram sehabis hujan
malam berangin tak embun di beranda
purnama buram di tanah barat

para urban terus mengalir
tak tahu sehari lagi
negeri penuh api

pohon-pohon mati
hangus lading-ladang melati
para lelaki ingkar janji
Bogor, 2002-2007


PETI UKIR JEPARA
peti ukir kayu jati
gambar gajah dan elung bumi
diukir tangan lelaki bernama bapa
kubuka hanya setiap syura

pundit-pundi tak pernah kami miliki
orang-orang run-temurun Ki Suto Kluthuk
miliknya hanya ukiran hati
begitu masih ada yang tega mengkhianati
orang bilang ujian bagai kalung merjan
mengingkari leher jenjang kehidupan

peti ukir kayu jati tua
hadirkan fatwqa maya orang utara
setiap syura bertambah beratnya
oleh setetes air mata

Teratak Gondosuli, Syura 2007



PESAN GAIB JELANG PURNAMA SURAYA
usai mengeja lirik lampu spanjang malam
kudapati pagi hari tak tanah basah
roh air telah meresap dalam sejarah
saat langkahmu gegas pergi bapa
ilusi?
mengapung bayangku di udara
saat angin mati
berputar-putar mencari Malioboro
pojok beteng barat dan timur
sampai Kaliurang kilometer 19
tak kujumpa seorang penari pun
untuk kusalami
baru kuingat
penari-penari itu
telah masuk ke dalam rumah jiwamu
gelar tarian musim dan geliat abad

Tratak Gondosuli, Januari 2007


PESAN GAIB BULAN RAYA
suaranya mengusap malam:
perempuan pemilik seribu musim
di jejak kakimu kusimak berita waktu
masa depan lama sudah kutitipkan
yang bagimu sebagian masih angan-angan
kucoba menerka seribu kemungkinan
tiap angina siang bertiup lalu diam
sembunyi dalam dukamu panjang
karena banyak kehilangan
jangan hapus getar dering kereta kuda
dari kota ini segala bermula
doa dan mantera
kusimpan berjuta salam perempuan sederhana
yang setia usung beban kehidupan
menuju pasar-pasar kota
menjaring-jaring berkah Gusti
hari itu telah mengendap dalam sekali
di dasar kaldera purba
aantara cinta, mimpi dan perjuangan
perempuanku, penjaga taman pemilik malam
tak alas kaki berjalanlah arah selatan
sapa langit sesudah hujan
sudah kau sentuh hulu keris bertatah intan

Batas Kota, Januari 2007



KESAKSIAN DARI SYURA KE SYURA
bapa, kesaksian kusimpan dalam nadi
masih kusimpan jua misteri gaib pesanmu
sementara kusimak bayangmu
walau kabut maya
windu-windu nulis obituary
karena hari-hari ada catatan darah
darah sesiapa bercak di matahari
aku ingin mengusapnya
agar cahayanya cipta kembali
bayang memanjang akan sosokmu

kendi-kendi yang belum penuh tgerisi
aku ingin penuhi
ditambah sari bebunga
agar kau tak pernah dahaga
kala jelajah padang gaib
ruang dan waktu
Bogor, Januari 2007


PESAN YANG DITINGGALKAN II
jelang purna Syura dengar pesanmu:
usah bertikai dengan dengan malam
karena malam sahabat abadi
para pejalan sunyi tak pernah henti
mencari makna gelar buana

simak bintang sunyi
masih kedipkan percik keindahan
pada orang-orang sederhana
berpencaran di tanah lama
tanah warisan bukan perdikan

jelang purnama Syura ada pesanmu:
usah bertikai dengan hujan
tampunglah sebelum kehilangan

Teratak Gondosuli, Januari 2007


PESAN YANG DITINGGALKAN II
pesan gaib tepat purnama Syura
jimat simpan riwayat
sejarah panjang kota kenangan:

tangkap semua sisi yang menyapa
gelap dan terang masing-masing simpan daya
petik pula bunga rumputan
dan ilalang gaib dalam roh alip
yang sederhana rupa kaya makna bagi jiwa
ini kutitipkan kidung kota kelahiran
syairnya kuanyam dari
serat mega di awsng-awang
dendangkan pelan jika kelak tak lagi
kau temukan bayangku di tembok kota Yogya
atau di jalan panjang Gondomanan
bahkan di hamper alun-alun utara-selatan

Teratak Gondosuli, Syura 2007


PEREMPUAN DAN MATAHARI
namanya perempuan
lengkap sempurna dengan tanda-tanda alam
perempuan airmata batu akik
keluh kesiur angina sepanjang gisik
menembang dari musim ke musim
namanya perempuan
pandang nerawang ngantar mentari senja
saat langit merah jingga
berjanji tak pernah henti
menimang matahari
sampai hutan ranggas hijau kembali
sampai orang agung tuntaskan doa Semanggi
lalu matahari merah simpan kidungnya
dalam lembayung senja silhuet cinta
matahari bertanya
benarkah dalam kenangan ada segala
bahkan saat jiwa dalam gaib penjara

namanya perempuan
senja mulai sembunyikan bayangnya
semakin hitam menyatu tanah merdeka
semakin gelap diam-diam meditasi cinta
akhirnya mentari bersarang di dada
2006




DOA I
doa mengabut asap
mengapung dalam udara serat
mencari nuansa sentuhNYA
di tikungan waktu
sirna belati pun batu

doa melubuk hening
memasir di dasar Sungai Hidup
meresap renung hakikat
di ruang tembus pandang
sirna pedang pun guncang

sempurna malam
sempurna angina
sempurna bisik syahdu batin
2006


DOA II
doa menyusup senyap fajar
sebelum bangun suara adzan
sebelum dentang layar kaca
sebelum angina timur menyapa beburung
sebelum bangkit jiwa murka amuk masa
doa berdenyut sendiri
doa berdesir menari

tak gapura yang poranda
tak wajah lukisan darah
tak raga hilang bilang
sepi menyapa sepi
jauh dari patung tani
jauh dari pendar mercury
tiba-tiba hadir Engkau menyapa diri

Engkau ada, aku ada
sempurna dalam doa yang bunga

2006








CATATAN JAM DI ANTARA HUJAN
sebusur abad
seruas abad
tak lagi belenggu melekat
alihnya musim itu
selalu berupa nyanyian waktu
dalam nada-nada berat
garpu tala mengetuk lambat
pada sendi-sendi berkarat
o, detik-detik yang jimat
2006

CATAN YANG TERTINGGAL
menghitung langkah ke langkah
memasuki ruang dan waktu
menata jejak ke jejak
menjadi peta perjalanan umur
tak peduli jaman lebar api
langit tebar hujan belati

ada bunga-bunga kecil
di beranda kehidupan
mekar wangi pagi senja
petik harumnya simpan dalam kalbu
jadi pengantar kidung persembahan
setiap purnama lingkar sempurna
2006

CATATAN AGUSTUS
pesona ruh dua warna itu
mendepak dan menendang
menggeliat dan menerjang
bicara makna kehadirannya
Kemerdekaan!
tapi para Sengkuni merajalela
tapi para durna makin temaha
aku cemas aku gemas

bapa, kusaksikan begitu lama
bapa, kutunggu perubahan nyata

Yudistira, benihkan kejujuran di tanah ini
Bima, kukuhkan ketegaran jiwa bangsa ini
Harjuna, ruhkan kesaktian juang anak negeri
Nakula Sahadewa, berikan makna budi yang lupa diri
Kemerdekaan itu, pesona itu
bersihkan dari limbah hitam dalam jiwa
bebaskan dari udara jelaga purba
lusa manakala angka berubah makna
yang sat jadi sapta
religi buana dalam sabda
menyusur lorong bencana
bingkai tetarian dosa
langkahku zikir purba
kala-kala sumingkira!
Bogor, 2006


LEPAS SUBUH DI BUMI RAJA II
saat jiwa tergetar menatap gunung wingit
sementara doa tak henti sentuh langit
laut menghardik
bumi terbadik
rumah kuna luluh kumuh
sisakan serpih tak lebih
fajar kehilangan cahaya timur
mengiring raib nasib dan umur
satwa kehilangan nuansa
dusun dan kata kehilangan tanda
manusia kehilangan daya
yang sisa tumpukan luka

seseorang menangis di bawah gapura
keluh dipatri di cakrawala
doa mengeram di dada
memanggili nama sang raja
mencari kaki pelangi di langit kata
pelangi tiada-terhela getar gempa
seseorang melompat:
kita belum sekarat
dunia belum kiamat
zikirkan ha na ca ra ka

Teratak Gondosuli, Juni 06



LEPAS SUBUH DI BUMI RAJA II
wajah-wajah pias masih termangu
sisa subuh warna abu
prahara kota prahara jiwa
luka tanah luka manah*)
mimpi perubahan yang tercacah
seorang lelaki tua terpukur di ujung desa
coba memeras air mata
sisa diri masihkah makna
denyut nadi denyut langit tak sahuti
masih terdengar bisiknya santun
hati-hati dalam runtun
adakah andika**)
yang selancar di lempengan Australia
adakah andika
sedang punya hajad raya
adakah andika
tak menerimaku yang terlalu tua
menugasiku bersaksi pada dunia
lelaki tua
menugasiku bersaksi pada dunia
lelaki tua terguguk
bumi raja benteng lapuk
hanya angka yang bertumpuk
pesan gaib jelang magrib:
kuat iman usah ngamuk!
Teratak Gondosuli, Juni 06

Catatan:
manah*) = hati andika **) = = Ratu Kidul


YOGYA SEBUAH PERTANDA
dalam bayang karakter nawa
telah terbaca satu pertanda
raibnya sebuah tiara purba
raibnya nyawa-nyawa
syairmu teronggok di sisas reruntuhan rumah tua
lepas fajar di yogya
mencari lembar sejarahmu
untaian merjan bumi mataram
kidungmu kidung sarira hayu
mantramu sastra binedhakti
caraka balik lumat batu akik
o, wong sidik

simak angka-angka biarkan bicara
bulan mei hari kedua puluh tujuh
di tikungan jaman penuh ontran-ontran
tangan gaib gusti pangeran
menepuk bumi kesayangan
saat jiwa rindu kehadiran
sang danyang gaib pulau jawa
sabda palon menagih janji
bukan dosa bunda pertiwi
jika teraju emasku: seonggok kayu
jika taman sariku: abu
jika rumah tuaku: serpih sembilu

Teratak Gondosuli, Juni 06


DOA DALAM UPACARA
dia ratunya wanodya
berhati bunga melati
semangat jiwa ksatria
menembus ruang dan waktu
abad hadir abad bergulir
kisahnya terus mengalir
di kota tua tertatah terukir

di bumi wangi
kusatukan segala doa
membasuh luka sejarahnya
wanodya sekar buana

Gusti Maha Ning Gusti
berkahi cahayanya abadi
Jepara tak pernah suwung
Jepara jadilah sumur agung
di Arasy-Mu jiwa temiyung
bagi Sang Ratu segala kidung
dalam tebar bunga tanjung

Jepara, 2006






SENJA DI BATU GILANG I
jadi titah
yang diberkahi
hidup di alam dunia
jiwa indah
rawatlah senantiasa

jadi titah
yang dipesan
elok selalu memahami
tenang tabah
jujur setia sabar hati

gusti hanya Gusti
yang harus engkau pepuji
pesan Andika di angin senja
mengusap batu gilang
diri terkesima

Jepara, 2006




Senja di Batu Gilang II

ingat wahai
manusia elok
harus yang lugu
jangan lompat
langkahnya agar tak keliru

sadar wahai
hanya Gusti Sang Pemberi
Berkah Rahmat
jangan lupa disyukuri
syukur puncak hati nurani

gusti hanya Gusti
penerangmu dalam hati
pesan Andika meresap jiwa
batu gilang bercahaya
diri terpana

Jepara, 2006